January 3, 2012

De glazen gamelan in de pendopo weet je er meer van te vertellen als ik. Ze spelen ons drieën lievelingslied. Het is geen lied, geen melodie eigenlijk, enkel klanken en tonen, zoo week en zoo zacht, grillig, onbestemd dooreen trillend, warrelend, maar hoe aangrijpend, hoe roerend mooi is het! Neen, neen, ‘t zijn geen klanken van glas, van koper, van hout, die daar opstijgen; ‘t zijn stemmen uit menschenzielen, die tot ons spreken, nu eens klagend, dan weenend en een enkelen keer eens blij lachend. En mijn ziele zweeft mee met die murmelende, reine, zilveren tonen, omhoog, omhoog, in de ijle, blauwe lucht, naar de donzige wolken, naar de schitterende starren; - diepe basgeluiden stijgen op, en de klanken voeren mij mee door donkere dalen, diepe ravijnen, door sombere wouden, ondoordringbare wildernissen! En mijn ziele beeft en krimpt ineen van angst en pijn en smart!

Duizendmalen heb ik “Ginondjing” gehoord, doch geen enkelen klank, geen enkelen toon kan ik beetpakken. Nu de gamelan zwijgt, weet ik me geen enkelen klank meer te herinneren, alles ïs uit mijne herinnering weggevaagd; die droef-liefelijke geluiden, die me ongekend zalig en toch zoo diep weemoedig stemmen tegelijk. Ik kan Ginondjingniet hooren, zonder diep ontroerd te zijn. Als ik maar de eerste tonen hoor van het prachtige voorspel, dan ben ik weg. Ik wil dat zwaarmoedig lied niet hooren, en toch ik moét, ik moét luisteren naar de murmelende stemmen, die mij vertellen van het verleden, van de toekomst, en ‘t is alsof de adem van die trillende zilveren klanken de sluiers wegblaast, die het geheimzinnig komende omhullen. En klaar als het heden trekken toekomstbeelden mijn geestesoog voorbij. Een huivering vaart mij door de leden, als ik daar sombere, donkere figuren voor mij zie verrijzen. Ik wil niet zien, maar mijn oogen blijven wijd geopend, en aan mijn voeten gaapt een afgrond van duizelingwekkende diepte, maar als ik mijn blik opsla naar boven, welft zich een helderblauwe hemel boven me en gouden zonnestralen spelen dartel met donzige witte wolkjes en in mijn harte is ‘t weer licht!

`

(Gamelan kaca di pendopo lebih tahu akan hal itu. Gamelan itu melagukan lagu kami bertiga. Bukan nyanyian, bukan lagu sebenarnya, hanyalah bunyi dan suara, amat lemah lembutnya, tiada tetap, bergetar tiada ketentuan beterbangan, tetapi alangkah rawannya hati, alangkah indahnya! Bukan, bukan suara kaca, tembaga kayu, yang naik itu ke udara, melainkan suara yang keluar dari sukma manusia, meresap ke dalam hati, kadang-kadang keluh kesah, sebentar lagi meratap menangis, sekali-sekali gelak tertawa. Dan sukmaku pun terlayang-layang dibawa suara lemah lembut bersih itu, naik ke atas, ke dalam udara tipis biru itu, ke awan kapas, ke bintang di langit yang bersinar-sinar:-suara lembab pun naiklah, dan suara itu membimbing aku melalui lembah gelap, jurang dalam, melalui hutan rimba semak belukar yang tiada terlalui! Dan sukmaku gemetar, mengerucut karena takut, karena pedih dan sedih!

Sudah ribuan kali kudengar lagu “Ginonjing”, tetapi tiada satu bunyi, satu suara pun yang lebat dalam ingatanku. Sekarang gamelan itu sudah berhenti, tetapi tiada suatu bunyi pun yang kuingat, semuanya sudah hilang dari ingatanku, sekalian bunyi jelita sedih itu, yang menjadikan hatiku merasa berbahagia, serta menjadikannya merayu pula sekali. Aku tiada hendak mendengarkan lagu yang menyayukan hati itu, tetapi mesti, mesti juga aku mendengarkan suara lembut itu, yang mengisahkan kepadaku masa yang silam, masa yang dihadapan; dan napas bunyi terang benderang bergetar itu, adalah seolah-olah mengembuskan selubung yang menyelubungi segala rahasia yang akan datang. Dan terang nyata senyata hari ini, lukisan mata yang datang lalu melintasi mata semangatku. Gemetar tubuhku, melihat di sana yang dihadapanku itu, gambaran yang muram-muram bangkit naik. Aku tiada hendak melihat, tetapi mataku tinggal terbeliak juga, dan pada kakiku ternganga jurang yang dalam sedalam-dalamnya, tetapi bila aku menengadah, melengkunglah langit yang hijau terang cuaca di atasku dan sinar matahari keemasan bercumbu-cumbuan, bersenda gurau dengan awan putih bagai kapas itu; maka dalam hatiku terbitlah cahaya terang kembali!

`

GINONJING adalah nama gending kegemaran Raden Ajeng Kartini dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata “gonjing” (goyah karena tidak seimbang) dengan sisipan “in” (menyatakan ketidaksengajaan). “Ginonjing” berarti goyah tanpa tahu siapa yang membuat posisi tidak seimbang itu. Ginonjing bisa berarti pengalaman kehilangan gravitasi sehingga orang tidak bisa lagi mengendalikan dirinya.

(terjemahan surat oleh Armin Pane)

No comments:

Post a Comment

gelembung-gelembung sabun!